
Dr. Ari Yunus Hendrawan
Putra Dayak dan Praktisi Hukum di Kalimantan Tengah
Kamis, 31 Juli 2025- Konflik agraria di Indonesia merupakan persoalan struktural yang kompleks, menyangkut perebutan sumber daya lahan antara berbagai pihak (masyarakat, korporasi, dan negara). Penanganan konflik agraria yang berkeadilan – sesuai prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia (HAM) – hingga kini masih jauh dari harapan. Berbagai laporan mencatat banyaknya konflik lahan yang berlarut-larut, seringkali disertai pelanggaran HAM dan ketimpangan kekuasaan antara komunitas lokal versus pemodal . Kajian ini akan membahas dua fokus utama. Pertama, menguraikan sebab-sebab penanganan konflik agraria secara nasional masih lamban dan belum memenuhi rasa keadilan, ditinjau melalui pendekatan teoritis (keadilan sosial, HAM, dan ekonomi politik agraria). Kedua, mendalami konteks khusus Provinsi Kalimantan Tengah melalui tiga studi kasus konflik agraria (Kasus Bangkal, Kasus Parenggean, dan Kasus tambang emas PT Alam Sutera) untuk melihat bagaimana penyelesaian konflik di wilayah ini berlangsung dan mengapa hasilnya belum memenuhi standar keadilan substantif maupun prosedural menurut HAM.
Pendekatan teoritis dalam kajian ini menyoroti bahwa konflik agraria tidak sekadar sengketa tanah, tetapi erat terkait keadilan distributif, penghormatan hak asasi atas tanah, dan dinamika politik-ekonomi agraria. Kerangka keadilan sosial menuntut agar penyelesaian konflik menghasilkan distribusi akses dan manfaat lahan yang adil bagi kelompok rentan (petani kecil, masyarakat adat) . Perspektif HAM menegaskan kewajiban negara melindungi hak-hak warga atas tanah, memastikan proses penyelesaian konflik menghormati hak untuk didengar, bebas dari kekerasan, dan memperoleh remediasi efektif . Sementara itu, pendekatan ekonomi politik agraria melihat konflik-konflik lahan sebagai gejala dari struktur ekonomi-politik yang timpang – di mana tanah dijadikan komoditas, modal besar bersekutu dengan kekuasaan, dan masyarakat lokal sering termarginalisasi . Dengan kerangka ini, kajian akan menelusuri faktor-faktor struktural dan kelembagaan yang menyebabkan konflik agraria sulit diselesaikan secara adil di Indonesia. Selanjutnya, melalui studi kasus di Kalimantan Tengah, akan ditunjukkan bagaimana prinsip-prinsip tersebut (keadilan sosial, HAM) masih terabaikan dalam praktek, mengakibatkan konflik berkepanjangan, kekerasan, serta pelanggaran hak masyarakat lokal.
secara nasional penyelesaian konflik agraria terhambat oleh kombinasi faktor struktural (ketimpangan agraria, model ekonomi ekstraktif) dan kelembagaan (regulasi dan tata kelola yang lemah). Keadilan substantif sulit tercapai ketika struktur penguasaan lahan sangat timpang dan kebijakan lebih pro-pemodal; keadilan prosedural pun sering dilanggar dengan tidak dilibatkannya warga dalam pengambilan keputusan, serta maraknya kekerasan dan kriminalisasi.
Konflik Agraria dan HAM di Kalimantan Tengah: Studi Kasus
Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan salah satu wilayah dengan catatan konflik agraria yang menonjol di Indonesia. Secara geografis, Kalteng kaya akan sumber daya alam: hutan tropis, lahan subur untuk perkebunan (terutama kelapa sawit), serta mineral seperti emas dan batubara. Dalam dua dekade terakhir, ekspansi perkebunan sawit skala besar dan pertambangan telah meningkat pesat di Kalteng, seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat Dayak (pribumi setempat) dan komunitas lokal yang hidup di dan dari tanah tersebut. Konsesi lahan dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan dan IUP (Izin Usaha Pertambangan) banyak tumpang tindih dengan wilayah adat atau lahan garapan warga. Akibatnya, Kalteng menjadi semacam mikrokosmos konflik agraria nasional, di mana masyarakat adat/lokal berhadapan dengan perusahaan besar, dan peran negara dipertanyakan.
Dari sudut pandang HAM, konflik agraria di Kalteng kerap disertai pelanggaran hak sipil-politik (seperti intimidasi, kekerasan terhadap aktivis, pembatasan akses ke keadilan) maupun hak ekonomi-sosial (perampasan tanah sebagai sumber kehidupan, degradasi lingkungan yang mempengaruhi hak atas kesehatan dan pangan). Komnas HAM sendiri telah beberapa kali menerima pengaduan kasus agraria dari Kalteng dan melakukan pemantauan. Namun, tantangan penyelesaian di lapangan tetap besar karena struktur kekuasaan lokal dan kepentingan ekonomi yang bermain.
Konflik lahan di Kalteng
Kasus Bangkal, Seruyan: Perjuangan Plasma dan Tragedi Kemanusiaan
Latar Belakang Konflik: Kasus Bangkal merujuk pada konflik agraria di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan (Kalteng), antara komunitas masyarakat hukum adat setempat melawan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (PT HMBP). Konflik ini bermula dari tahun 2006, ketika PT HMBP memperoleh HGU seluas >11.000 hektar di wilayah tersebut . Dalam proses perolehan lahan, masyarakat Bangkal mengklaim bahwa sekitar 443 hektar tanah adat mereka “diambil” untuk perkebunan tanpa pengembalian atau kompensasi yang adil . Perusahaan menjanjikan skema inti-plasma – sesuai ketentuan pemerintah yang mewajibkan perusahaan perkebunan memberikan 20% lahannya untuk kebun plasma masyarakat. Namun, janji ini tidak pernah terwujud sejak HGU terbit. Hingga puluhan tahun lahan plasma tak kunjung direalisasikan, masyarakat adat Bangkal merasa hak atas tanah ulayat mereka diingkari .
Dinamika Konflik dan Posisi Para Pihak: Masyarakat Desa Bangkal menuntut pengembalian tanah adat 443 ha atau realisasi kebun plasma yang dijanjikan. Mereka telah menempuh berbagai cara: dialog dengan pemerintah daerah, mediasi dengan perusahaan, hingga aksi protes. Sejak tahun 2008 tercatat warga pernah protes tetapi diabaikan . PT HMBP (anak perusahaan Best Agro Plantation Group) bersikukuh bahwa mereka memiliki hak legal atas lahan tersebut (HGU sah). Perusahaan cenderung mengulur dialog dan tidak mau melepas lahan, mungkin karena 443 ha tersebut bagian dari area produktif mereka. Pemerintah daerah dan Badan Pertanahan berperan minimal; meski mengetahui sengketa, tidak ada solusi konkrit bertahun-tahun. Dalam situasi vacuum inilah, warga mulai melakukan aksi-aksi langsung.
Memasuki tahun 2022-2023, tensi konflik meningkat. Koalisi masyarakat adat Dayak (termasuk ormas adat seperti Pasukan Merah TBBR) mendukung warga Bangkal memperjuangkan haknya. Puncaknya, September 2023, warga melakukan aksi blokade jalan menuju perkebunan HMBP . Aksi ini direspons dengan represif: aparat kepolisian dikerahkan untuk “pengamanan objek vital” (perkebunan), namun faktanya lebih berpihak pada perusahaan . Terjadi beberapa kali bentrokan kecil: 21 September dan 23 September 2023, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa yang memicu warga membakar fasilitas perusahaan sebagai reaksi . Ketegangan memuncak pada 7 Oktober 2023, ketika aparat gabungan (Brimob Polda Kalteng) kembali diterjunkan menghadapi unjuk rasa warga. Dalam insiden tragis itu, seorang warga Dayak bernama Gijik (35 tahun) tewas tertembak peluru tajam, dan setidaknya dua warga lain luka berat . Puluhan orang juga ditangkap saat operasi penertiban .
: Kasus Bangkal menyoroti peran aparat keamanan (Polri) yang kontroversial. Alih-alih menjadi penengah netral, aparat dianggap bertindak eksesif dan memihak perusahaan. Laporan berbagai organisasi (Walhi, AMAN, KontraS, dll.) mengecam penggunaan peluru tajam terhadap warga sipil yang memperjuangkan haknya . Tindakan polisi menembak warga dinilai sebagai pelanggaran HAM serius – melanggar hak hidup dan prosedur penanganan unjuk rasa damai . Juga tercium konflik kepentingan: adanya dugaan bisnis keamanan di perkebunan sawit Kalteng, di mana oknum aparat “berjaga” untuk perusahaan . Sementara pemerintah (eksekutif) relatif lamban; baru setelah jatuh korban, berbagai pejabat mengeluarkan seruan. Presiden telah menerbitkan Perpres No.62/2023 tentang Percepatan Reforma Agraria hanya beberapa hari sebelum insiden, tetapi implementasinya tidak terasa di Bangkal .
organisasi masyarakat sipil dan media. Koalisi Solidaritas Keadilan untuk Bangkal (terdiri dari Walhi Kalteng, Save Our Borneo, YLBHI, AMAN Kalteng, dll.) mengadvokasi kasus ini, mendampingi warga, dan menuntut pertanggungjawaban aparat . Mereka menekan agar Kapolri mencopot Kapolda Kalteng, mengusut tuntas penembakan, dan menarik pasukan dari lokasi . Komnas HAM juga didorong turun menyelidiki. Di pihak masyarakat adat, Pasukan Merah TBBR menyerukan perlawanan terbatas untuk menjaga tanah adat mereka .
Bagi komunitas Bangkal (yang mayoritas suku Dayak), konflik ini berdampak multi-dimensi. Secara ekonomi, selama puluhan tahun mereka kehilangan akses produktif ke tanah leluhur seluas ratusan hektar, sehingga potensi kesejahteraan hilang. Janji plasma yang tak ditepati juga membuat puluhan kepala keluarga kehilangan sumber penghasilan yang dijanjikan. Secara sosial-budaya, tanah adat sangat terkait dengan identitas; perampasan tanah dianggap melukai martabat dan kelangsungan adat. Trauma akibat kekerasan juga dirasakan: pasca bentrokan, warga ketakutan beraktivitas normal, beberapa anggota komunitas mengalami luka fisik dan psikologis karena berhadapan dengan aparat bersenjata. Satu nyawa melayang (Gijik) yang merupakan anggota komunitas adat, meninggalkan duka mendalam dan rasa ketidakadilan.
Hingga saat ini, penyelesaian konflik Bangkal belum memenuhi keadilan substantif maupun prosedural. Secara substantif, tuntutan masyarakat – yakni memperoleh kembali tanah atau plasma – belum dipenuhi. Pemerintah pusat memang menjanjikan evaluasi HGU PT HMBP I; SPI dan KPA mendesak agar HGU tersebut dicabut dan lahannya dijadikan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk redistribusi ke warga . Namun langkah konkret masih minim. Keadilan prosedural juga dilanggar: hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dipasung dengan kekerasan. Proses dialog tidak difasilitasi dengan baik; mediasi sebelum aksi tampak tidak efektif. Aparat mengabaikan prosedur persuasif dalam penanganan unjuk rasa, langsung beralih ke tindakan represif. Ini jelas melanggar prinsip HAM (necessity and proportionality dalam penggunaan kekuatan). Selain itu, pasca insiden, penegakan hukum atas pelaku penembakan belum transparan. Padahal standar keadilan prosedural menuntut investigasi independen dan akuntabilitas terhadap pelanggaran (yang dalam kasus ini adalah aparat negara sendiri).
Dalam kacamata HAM, penyelesaian konflik Bangkal seharusnya memenuhi standar keadilan substantif: misalnya, pengembalian tanah adat yang dituntut, pemberian ganti rugi memadai atas kerugian masa lalu, dan reformasi agar hal serupa tak terulang. Juga keadilan prosedural: menghukum oknum aparat yang bersalah, memulihkan nama baik warga yang sempat dikriminalisasi (belasan warga ditangkap perlu dipulihkan haknya), dan memastikan ke depan mekanisme dialog digunakan alih-alih kekerasan. Sayangnya, sejauh ini negara belum menunjukkan pemenuhan standar tersebut. Kasus Bangkal justru menjadi contoh nyata “wajah buruk penanganan konflik agraria” di mana pola kolonial berulang: perusahaan menduduki tanah warga dengan izin, warga dipinggirkan, ketika menuntut hak malah mendapatkan represi .
Kasus Parenggean, Kotawaringin Timur: Sengketa Lahan Sawit dan Bentrok Horizontal
Latar Belakang Konflik: Kasus Parenggean mengacu pada sengketa kepemilikan kebun kelapa sawit di wilayah Desa Pelantaran, Kecamatan Cempaga Hulu (sering dikaitkan dengan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng). Uniknya, konflik ini bukan antara masyarakat vs perusahaan besar, melainkan antara dua kelompok yang masing-masing mengklaim hak atas lahan perkebunan sawit seluas ±700 hektare. Pihak pertama adalah Hok Kim alias Acen, seorang pengusaha lokal yang semula mengelola kebun tersebut. Pihak kedua adalah kelompok Alpin Laurence (bersama rekan-rekannya Yansen, Wahyu, dan Soedjatmiko), yang dikatakan memiliki hak kepemilikan formal (Sertifikat Hak Milik) atas lahan kebun itu . Sengketa bermula ketika Hok Kim diduga menguasai lahan dan hasil kebun secara sepihak, sementara Alpin cs mengklaim mereka adalah pemilik sah. Hok Kim lantas menggugat Alpin cs ke Pengadilan Negeri (PN) Sampit pada tahun 2022, dalam perkara kepemilikan 14 sertifikat SHM yang meliputi lahan ±700 ha tadi .
Proses Hukum dan Eskalasi Konflik: Pada Juli 2023, PN Sampit mengabulkan gugatan Hok Kim, menyatakan Hok Kim berhak atas lahan tersebut . Namun, Alpin cs banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya, yang kemudian membatalkan putusan PN (artinya memenangkan Alpin cs) . Hok Kim tidak terima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Selagi proses hukum berjalan, di lapangan situasi memanas. Hok Kim masih menguasai fisik kebun dengan menempatkan orang-orangnya (disebut ada kelompok pekerja/preman bayaran) di lahan, sementara Alpin cs berusaha mengambil alih pasca menang di PT. Terjadi saling klaim di lokasi kebun, melibatkan massa dari kedua belah pihak.
Puncaknya, 11 September 2023, terjadi bentrokan berdarah di lahan sengketa, Desa Pelantaran . Keterangan menunjukkan kelompok Alpin mendatangi kebun dan bentrok dengan kelompok Hok Kim. Akibatnya, 1 orang tewas karena luka senjata tajam dan 2-3 orang luka serius . Korban tewas dan luka kabarnya berasal dari kubu Hok Kim (namun detail identitas tak banyak diungkap media). Bentrokan ini mengindikasikan konflik yang mulanya sipil berubah menjadi pertikaian fisik antar-kelompok, melibatkan kekerasan vigilante. Aparat kepolisian baru turun ke TKP setelah kejadian, untuk mencegah bentrok susulan .
Pasca bentrokan, situasi masih tegang. Polisi menempatkan personel untuk menjaga keamanan di kebun. Pada sisi hukum, perkembangan terbaru (Juni 2024), Mahkamah Agung menolak kasasi Hok Kim dan menguatkan putusan PT Palangka Raya yang memenangkan Alpin cs . Dengan demikian secara legal, Alpin cs diakui pemilik sah lahan. Bahkan Hok Kim menghadapi kasus pidana terpisah terkait dugaan penggelapan 14 sertifikat SHM tersebut, yang didorong untuk segera disidang . Meski secara hukum terang, di lapangan dilaporkan kubu Hok Kim belum sepenuhnya angkat kaki; beberapa oknum disebut masih beraktivitas di kebun sengketa setelah putusan MA . Ini menunjukkan tantangan eksekusi putusan dan kemungkinan resistensi.
Peran Negara dan Aktor Non-Negara: Dalam kasus Parenggean, peran negara lebih terlihat pada aparatus peradilan. Sengketa dibawa ke jalur hukum perdata, dan pengadilan pada akhirnya berpihak kepada pemegang sertifikat (Alpin cs). Dari perspektif hukum formal, negara (pengadilan) telah menyediakan forum penyelesaian. Namun, lamanya proses (2022-2024) menunjukkan keterbatasan litigasi dalam meredam konflik agraria yang mendesak. Selama proses berlangsung, aparat keamanan terkesan kurang proaktif mencegah kekerasan. Baru setelah ada korban jiwa polisi turun aktif berjaga. Tidak terdengar adanya prakarsa mediasi dari pemerintah daerah sebelum bentrok terjadi; bisa jadi pemerintah lokal enggan mencampuri karena sifat konflik antar-individu/perusahaan (bukan warga vs korporasi besar). Organisasi masyarakat sipil juga tampak minim terlibat, mungkin karena kasus ini dipandang bukan “konflik agraria klasik” (dimana petani kecil tertindas), melainkan konflik internal pemodal. Namun, yang muncul adalah keterlibatan tokoh adat dan masyarakat desa di sekitar kebun. Kuasa hukum masyarakat Desa Pelantaran, Ornela Monty, pernah menyatakan keresahan warga atas hadirnya oknum preman di kebun sengketa yang meresahkan keamanan kampung . Artinya, komunitas lokal menjadi korban ikutan: merasa tidak aman akibat adanya dua kubu berkonflik di wilayah mereka.
Dampak pada Masyarakat Lokal: Walau konflik ini terutama antara dua pihak “elit” (pemilik lahan), masyarakat lokal di Desa Pelantaran turut terdampak. Sejumlah warga sekitar terlibat sebagai pekerja di kebun, kemungkinan terpecah loyalitasnya (sebagian digaji Hok Kim, sebagian mendukung Alpin cs). Kehadiran preman bersenjata tajam menciptakan iklim intimidasi di desa. Pasca bentrok yang menewaskan satu orang, warga biasa tentu merasa khawatir akan keamanan. Akses ke kebun (yang mungkin juga menjadi akses jalan desa) sempat terganggu. Dalam jangka panjang, konflik ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum jika tidak ditangani tuntas – misalnya, jika Hok Kim tetap bandel di lapangan meski kalah di MA, akan timbul pertanyaan apakah hukum mampu ditegakkan.
Analisis Keadilan Substantif dan Prosedural: Dari segi substantif, kasus Parenggean mengandung unsur keadilan berbeda dibanding kasus lainnya: di sini pertikaiannya mengenai hak milik formal vs penguasaan de-facto. Putusan pengadilan akhirnya mengakui hak formal Alpin cs, yang dapat dianggap memulihkan keadilan formal (bagi pemilik sah mendapatkan lahannya kembali). Namun, proses menuju keadilan itu ternoda oleh kekerasan. Substantifnya, satu nyawa hilang dan trauma tercipta – hal yang idealnya bisa dicegah jika aparat dan otoritas bertindak lebih awal. Tidak ada masyarakat kecil tertindas di sini dalam arti klasik, tetapi ada keadilan bagi investor lokal yang ditegakkan lewat MA. Meski begitu, standar HAM mengharuskan penyelesaian sengketa tanah dilakukan tanpa kekerasan. Kegagalan negara mencegah bentrok berarti prosedur perlindungan HAM tidak optimal.
Dari sisi prosedural, ada plus-minus. Plus: para pihak menempuh jalur hukum (sesuai prosedur sengketa perdata), ini langkah yang benar. Proses peradilan tampak memberikan kesempatan pembelaan kepada kedua belah pihak (Hok Kim menang di PN, Alpin banding menang di PT, kasasi diputus MA). Artinya prosedur hukum tersedia dan digunakan. Namun minusnya: lamanya proses memberi celah vacuum enforcement. Juga, selama proses, seharusnya ada upaya pencegahan konflik fisik di lapangan – misal dengan menerbitkan penetapan status quo atau police line di lahan hingga inkracht. Entah hal itu dilakukan atau tidak, nyatanya bentrok terjadi. Ini menunjukkan prosedur pengamanan tidak berjalan baik. Standar keadilan prosedural menurut HAM juga menuntut bahwa sengketa diselesaikan dengan cara yang menghormati hak atas keamanan dan ketertiban umum. Dalam kasus ini, penduduk mengalami ketakutan, dan seseorang terbunuh – berarti prosedur damai gagal.
Setelah putusan final, tantangan prosedural berikutnya adalah eksekusi putusan. Aparat penegak hukum harus memastikan tanah diserahkan ke pihak yang berhak tanpa lagi kekerasan. Jika perlu, langkah non-yudisial seperti mediasi komunitas untuk meredakan tensi perlu dilakukan agar kubu yang kalah tidak melakukan perlawanan ilegal. Pada tingkat HAM, penting juga proses akuntabilitas: pelaku pembacokan yang menewaskan korban harus diusut dan diadili pidana, sehingga ada efek jera dan keadilan bagi korban. Tanpa itu, kasus ini meninggalkan luka pelanggaran hak hidup yang impunitas.
Secara ringkas, Kasus Parenggean mengajarkan bahwa konflik agraria tidak selalu berbentuk rakyat vs korporasi; konflik antar pemilik pun bisa chaos jika mekanisme pencegahan konflik sosial lemah. Keadilan substantif akhirnya dicapai bagi pemilik sah (lahannya dikembalikan), tetapi keadilan bagi korban kekerasan masih tanda tanya. Keadilan prosedural sebagian terpenuhi (akses ke pengadilan tersedia), namun dilanggar dalam hal perlindungan warga dari kekerasan.
Kasus Tambang Emas PT. Alam Sutera vs Penambang Rakyat, Gunung Mas
Latar Belakang Konflik: Kasus ini terjadi di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, khususnya di sekitar Desa Sumur Mas, Kecamatan Tewah. Di wilayah ini terdapat konsesi pertambangan emas yang dipegang oleh perusahaan PT Alam Sutera (bekerja sama dengan investor asing, disebut juga grup Zhonghai). PT Alam Sutera mengantongi IUP Operasi Produksi seluas ±732 hektare sejak 2011, berlaku hingga 2026 . Namun, selama bertahun-tahun, tambang ini tampaknya belum berproduksi penuh. Sementara itu, masyarakat lokal di Gunung Mas secara turun-temurun melakukan pendulangan emas tradisional di sungai-sungai dan wilayah tersebut sebagai mata pencaharian. Kondisi ekonomi masyarakat yang sulit (ketergantungan pada tambang skala kecil) ditambah melonjaknya harga emas global, mendorong maraknya aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di berbagai tempat Kalteng , tak terkecuali di Sumur Mas.
Situasi memuncak awal tahun 2023, ketika beredar kabar viral tentang penemuan batu berurat emas di Bukit Naga (wilayah Sungai Pinding Kabalie, Desa Sumur Mas). Ribuan orang, bukan hanya warga lokal tapi juga pendatang, berbondong-bondong menyerbu lokasi untuk mendulang emas secara manual . Fenomena gold rush ini berlangsung sejak Januari 2023, menciptakan tambang rakyat spontan di area yang ternyata berada dalam konsesi PT Alam Sutera. Para penambang rakyat termasuk pria, wanita bahkan anak-anak, menggali tanah dan memecah batu secara tradisional (tanpa alat berat) untuk mencari butiran emas . Dalam kondisi tersebut, status konsesi PT Alam Sutera menjadi tidak efektif – perusahaan belum beroperasi, namun lahannya dikerumuni penambang liar.
Posisi Para Pihak: Penambang rakyat berpendapat bahwa emas di Bukit Naga adalah anugerah alam untuk mereka. Tokoh masyarakat setempat, termasuk anggota DPRD Gumas, menyatakan masyarakat berhak menikmatinya demi peningkatan kesejahteraan . Mereka melihat aktivitas ini sebagai peluang ekonomi langka di tengah kemiskinan. Sebaliknya, PT Alam Sutera selaku pemegang izin legal punya hak eksklusif menambang di wilayah itu. Secara formal, aktivitas ribuan penambang tersebut adalah ilegal dan berpotensi merusak aset perusahaan. Namun, perusahaan berada pada posisi dilematis: penegakan haknya berarti harus meminta aparat menertibkan ribuan rakyatnya sendiri, yang secara sosial-politik sensitif. Apalagi diketahui proses perizinan PT Alam Sutera sendiri belum sepenuhnya rampung (misal izin lingkungan atau tata ruang belum final) , sehingga operasi belum jalan. Pemerintah daerah pun mengakui kawasan tersebut status quo karena ada sengketa atau ketidakjelasan izin antara pemilik lahan dan investor .
Peran Pemerintah dan Otoritas: Pemerintah Kabupaten Gunung Mas mengambil langkah hati-hati. Alih-alih langsung mengerahkan aparat untuk membubarkan pendulang (yang bisa picu konflik terbuka), Bupati dan DPRD Gumas justru cenderung memfasilitasi solusi win-win. Mereka berencana mengusulkan agar lokasi Bukit Naga dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) resmi . Pernyataan anggota DPRD Evandi (NasDem) tegas: “Kegiatan itu tidak bisa serta merta dibubarkan… Pemkab harus berusaha membuat regulasi menjadikan lokasi itu WPR” . Artinya, pemerintah lokal memihak aspirasi masyarakat agar tambang rakyat dilegalkan, ketimbang diserahkan ke investor besar. Bupati Gunung Mas juga menyatakan 95% warga Gumas menggantungkan hidup pada tambang emas mikro, sehingga pihaknya “tidak bisa menutup mata” dan sedang memfasilitasi pembentukan WPR serta Izin Pertambangan Rakyat (IPR) . Sikap ini mencerminkan pendekatan human security – mengutamakan kesejahteraan rakyat – namun sekaligus tantangan bagi PT Alam Sutera.
Sementara itu, aparat keamanan (Polres Gumas) mengambil langkah persuasif. Polisi mengimbau warga agar tidak mudah terpengaruh isu adanya bongkahan emas besar (untuk mengurangi eksodus penambang) . Mereka juga hadir di lapangan untuk mengawasi agar situasi kondusif, tanpa melakukan kekerasan. Hingga pertengahan 2023, tidak ada laporan bentrokan keras antara aparat dan penambang di Sumur Mas. Hal ini menandakan pemerintah mencoba menghindari pelanggaran HAM terbuka. Di sisi lain, dari pihak perusahaan belum banyak pernyataan publik; kemungkinan PT Alam Sutera melobi lewat jalur pemprov/pusat untuk menertibkan, tapi juga menyadari sensitifnya kondisi sosial.
Dampak Konflik terhadap Masyarakat Lokal: Kasus ini sebenarnya muncul justru karena kondisi sosial-ekonomi masyarakat lokal. Kemiskinan struktural mendorong ribuan orang rela bekerja kasar mendulang emas dengan peralatan tradisional, menanggung resiko longsor dan kecelakaan . Dampak positif bagi mereka: selama beberapa bulan, banyak yang memperoleh emas beberapa gram hingga puluhan gram , memberi penghasilan signifikan. Ada euforia perbaikan ekonomi jangka pendek. Namun dampak negatif juga ada: kerusakan lingkungan di lokasi tambang liar (lubang galian, erosi), potensi pencemaran (jika mercury digunakan, meski awalnya manual), serta risiko kecelakaan tambang. Benar saja, beberapa insiden longsor di tambang tradisional Kalteng terjadi dan merenggut nyawa – meski belum dilaporkan di Bukit Naga, potensi itu ada. Selain itu, masuknya ribuan pendulang dari luar dapat memicu ketegangan sosial (perebutan area kerja, kriminalitas, dsb.). Dari kacamata HAM, masyarakat lokal diuntungkan ekonomi, tapi hak atas lingkungan yang sehat terancam jika aktivitas ini berlangsung tanpa regulasi.
Status Penyelesaian dan Analisis Keadilan: Saat ini (tahun 2025), status konflik ini masih dalam proses penanganan. Pemkab Gunung Mas tengah menyiapkan skema legalisasi tambang rakyat melalui penetapan WPR/IPR . Jika berhasil, ini akan menjadi solusi inovatif: masyarakat mendapat ruang legal menambang secara terbatas, lingkungan bisa diatur (dengan teknologi ramah lingkungan yang diwacanakan ), dan PAD daerah meningkat dari pajak emas. Namun, tantangannya adalah izin PT Alam Sutera – bagaimana nasib konsesi mereka? Idealnya, perlu kompromi: misal area tertentu dilepaskan untuk WPR, sisanya tetap digarap perusahaan dengan kemitraan masyarakat. Hingga kini belum ada keputusan final, sehingga konflik ini belum benar-benar terselesaikan, tapi sedang dinegosiasikan.
Dari perspektif keadilan, keadilan substantif bagi masyarakat lokal berarti pengakuan hak mereka atas sumber daya alam setempat untuk menghidupi diri. Upaya menjadikan WPR adalah langkah menuju keadilan substantif itu – bahwa rakyat berhak atas sebagian hasil emas, bukan hanya korporasi. Ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan pasal 33 UUD 1945. Keadilan prosedural juga relatif dihormati dalam kasus ini: pemerintah tidak sembarang mengusir atau menangkap pendulang, melainkan mencari solusi regulatif. Tidak ada laporan pelanggaran HAM berat (penembakan atau kriminalisasi masal) di sini – suatu kontras positif dibanding kasus konflik perkebunan. Meski demikian, perlu dicatat, penambangan rakyat saat ini statusnya ilegal, artinya bila hukum ditegakkan kaku, ribuan orang bisa dipidana. Penegakan hukum strict tanpa solusi akan bertentangan dengan rasa keadilan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Beruntung pendekatan yang diambil berbasis HAM: pemerintah melihat fenomena ini sebagai isu hak ekonomi rakyat yang harus difasilitasi, bukan semata pelanggaran hukum.
Secara HAM internasional, ada konsep hak atas pembangunan dan pemanfaatan sumber daya. Masyarakat lokal seharusnya dilibatkan dalam pemanfaatan kekayaan alam di daerahnya. Kasus ini memperlihatkan upaya memenuhi itu dengan memikirkan skema IPR/WPR. Tentu saja, keadilan juga harus meliputi aspek lingkungan hidup: aktivitas tambang, baik oleh rakyat maupun perusahaan, jangan sampai merusak lingkungan hingga melanggar hak generasi mendatang. Maka tantangan ke depan adalah memastikan aktivitas penambang rakyat ramah lingkungan (misal tanpa merkuri, menghindari kerusakan parah). Pemerintah daerah menyebut akan mendorong teknologi pengolahan emas ramah lingkungan untuk penambang kecil , ini bagian dari keadilan inter-generasional.
Dalam kasus PT Alam Sutera vs penambang rakyat, dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang lebih berkeadilan mulai diupayakan, meski konflik lahannya sendiri belum tuntas secara formal. Keadilan substantif dituju dengan rencana memberikan legal akses tambang kepada rakyat (berbagi hasil alam), dan prosedural cukup dipatuhi dengan dialog dan regulasi, bukan represi. Ini patut diapresiasi sebagai best practice awal dalam penanganan konflik agraria berbasis HAM di Kalteng, walau implementasinya masih perlu pembuktian.
Waktu Peristiwa dan Perkembangan
2011 PT Alam Sutera memperoleh IUP Operasi Produksi tambang emas di Desa Sumur Mas, Kec. Tewah, Kab. Gunung Mas (luas ±732 ha, masa izin hingga 2026) . Perusahaan belum berproduksi penuh, kemungkinan terkendala perizinan lanjutan.
2010-an Warga lokal tetap menambang emas tradisional di sungai/hutan secara kecil-kecilan (PETI). Tambang rakyat marak karena terbatasnya lapangan kerja lain; emas menjadi “primadona” penghasilan 95% warga Gumas .
Jan 2023 Viral temuan batu urat emas di Bukit Naga, Desa Sumur Mas. Ribuan warga lokal dan luar daerah berbondong mendulang emas manual di lokasi (dalam konsesi PT Alam Sutera) .
Jan–Mar 2023 Pemerintah daerah dan kepolisian turun ke lapangan. Polisi mengimbau pemburu emas untuk berhati-hati dan tidak mudah percaya kabar berlebihan . Aktivitas penambang liar terus berlangsung namun relatif tertib (belum dibubarkan paksa).
Mar 2023 Isu muncul di media: status lahan PT Alam Sutera jadi status quo karena sengketa/izin belum tuntas, tidak mungkin investor beroperasi sementara belum ada putusan jelas . Hal ini mengisyaratkan pemerintah menahan operasi perusahaan hingga ada solusi dengan penambang.
Mar 25, 2025 DPRD Gunung Mas kunker ke lokasi PT Alam Sutera. Secara resmi mereka membahas kontribusi PAD dan CSR perusahaan , namun tidak dilaporkan membahas konflik dengan penambang. Mungkin karena secara formal aktivitas pendulang sudah mereda atau menunggu legalisasi.
Jul 2025 Bupati Gumas Jaya S. Monong menyatakan komitmen fasilitasi WPR/IPR bagi tambang emas rakyat karena >95% warga menggantungkan hidup di tambang mikro . Upaya koordinasi dengan Pemprov dan Kementerian ESDM dilakukan untuk menetapkan WPR di wilayah Bukit Naga.
Saat ini Penambang rakyat sebagian masih beroperasi secara terbatas sambil menanti legalisasi. Belum ada laporan bentrokan; konflik diarahkan ke meja perundingan kebijakan. PT Alam Sutera menunggu kejelasan; kemungkinan negosiasi kompensasi atau pengurangan wilayah konsesi untuk WPR.
Analisis Komparatif Ketiga Kasus
Ketiga studi kasus di atas menunjukkan wajah konflik agraria yang beragam di Kalimantan Tengah, namun memiliki benang merah: penyelesaian konflik yang ada belum memenuhi standar keadilan substantif maupun prosedural sesuai prinsip HAM.
• Kasus Bangkal (Seruyan) mewakili konflik masyarakat vs korporasi besar yang klasik. Di sini ketidakadilan sangat nyata: tanah adat diambil, janji kompensasi tak dipenuhi, protes dibalas kekerasan. Substantifnya, hak komunitas adat atas tanah diabaikan; secara prosedural, mereka diperlakukan represif alih-alih diajak bermusyawarah. Negara gagal melindungi hak warga dan justru aparat melanggar HAM secara langsung (penembakan). Kasus ini memperlihatkan faktor struktural (dominasi perusahaan sawit, lemahnya pengakuan tanah adat) dan kelembagaan (aparat bias, tiadanya mekanisme penyelesaian konflik efektif) yang menyebabkan penyelesaian konflik jauh dari prinsip keadilan . Hingga kini, Bangkal adalah simbol lambannya reforma agraria di tingkat lokal.
• Kasus Parenggean (Kotim) menyoroti konflik horizontal yang lebih unik, namun tetap bagian dari masalah agraria (karena inti sengketa adalah lahan produktif). Di sini secara formal mekanisme hukum berjalan, tetapi konflik fisik meletus akibat kelambanan dan ketidakhadiran negara dalam mencegah eskalasi. Substantif, sengketa akhirnya dimenangkan salah satu pihak (Alpin cs), namun ini setelah adanya korban jiwa yang sejatinya bisa dianggap kegagalan melindungi hak hidup. Prosedural, akses ke pengadilan tersedia (ini baik), tetapi perlindungan keamanan selama proses tidak memadai (ini buruk). Kasus ini menunjukkan aspek keadilan prosedural internal: bagaimana pentingnya rule of law ditegakkan cepat dan tegas untuk mencegah vacuum yang diisi kekerasan vigilante. Juga mengindikasikan bahwa konflik agraria apapun bentuknya, butuh fasilitasi negara supaya tidak menjurus anarki.
• Kasus PT Alam Sutera (Gunung Mas) menggambarkan konflik laten antara model ekonomi rakyat vs ekonomi korporasi. Menariknya, di sini pemerintah cenderung memihak rakyat dengan mencari solusi legalisasi tambang rakyat. Ini kontras dengan banyak kasus lain di mana negara sering pro-investor. Walau demikian, perlu dilihat hasil akhirnya nanti. Saat ini substantif, rakyat mendapat akses emas (de facto), tapi legal belum. Prosedural, justru negosiasi dan wacana kebijakan tengah berlangsung – suatu pendekatan non-kekerasan yang patut dipuji. Kasus ini memberi harapan bahwa dengan pendekatan HAM (hak ekonomi rakyat) dan keadilan sosial, konflik agraria bisa dikelola lebih baik tanpa korban. Namun, tantangan lingkungan dan kepastian hukum perusahaan harus diselesaikan agar adil bagi semua.
Dari ketiga kasus, kita dapat menganalisis faktor penyebab lambannya penyelesaian dan ketidakadilan hasil:
• Faktor Struktural: Ketimpangan dan kepentingan ekonomi sangat dominan. Di Bangkal dan Parenggean, lahan sangat bernilai (sawit) sehingga pihak berkekuatan ekonomi enggan melepas. Investasi besar diprioritaskan daripada hak rakyat (Bangkal). Di Gunung Mas, kekayaan alam emas menggoda banyak pihak; untungnya pemda cenderung ke rakyat karena pertimbangan populis dan kesulitan ekonomi warga (95% bergantung tambang) . Kemiskinan mendorong rakyat ambil jalan sendiri (PETI), sementara regulasi formal lambat merespons.
• Faktor Kelembagaan: Di semua kasus, mekanisme penyelesaian konflik preventif hampir tidak ada. Tidak ada mediasi efektif sebelum konflik meledak. Gugus Tugas Reforma Agraria daerah, jika ada, tidak terdengar fungsinya. Koordinasi lintas instansi lemah: contoh, di Bangkal ATR/BPN tidak turun tangan cepat padahal menyangkut evaluasi HGU; di Parenggean pemerintah lokal tak kunjung menengahi sebelum bentrok; di Gunung Mas baru setelah viral semua pihak sibuk mencari solusi. Penegakan hukum bias juga tampak: Bangkal, aparat memihak pemodal; Parenggean, baru bertindak setelah situasi parah; Gunung Mas, setidaknya aparat cukup netral. Ketiadaan badan penyelesaian konflik agraria membuat penanganan ad-hoc tergantung inisiatif lokal masing-masing, sehingga inkonsisten.
• Keadilan Prosedural vs Substantif: Seringkali, prosedur formal (izin, sertifikat, hukum tertulis) lebih diutamakan daripada keadilan substantif (rasa keadilan di masyarakat). Di Bangkal, perusahaan bersikukuh pada legalitas HGU, mengabaikan keadilan masyarakat adat. Di Parenggean, Hok Kim gunakan celah hukum (menggugat) mungkin untuk legalkan penguasaan, meski moralnya dipertanyakan. Di Gunung Mas, rakyat lakukan aktivitas ilegal tapi secara moral bisa dibenarkan demi nafkah. Ini menunjukkan gap antara legalitas formal dan legitimasi sosial. Untuk penanganan konflik yang berkeadilan, kedua aspek mesti dijembatani – hukum harus memihak yang hakiki benar, bukan sekadar siapa yang pegang surat. Seperti dikatakan Dewi Kartika (KPA), perlu kerangka reforma agraria yang mengakui hak atas tanah sebagai HAM , sehingga penyelesaian konflik tak semata legal-formal tapi memenuhi rasa keadilan.
• Peran HAM: Standar HAM jelas belum terpenuhi di Bangkal (ada pelanggaran HAM berat), di Parenggean (hak atas keamanan warga terlanggar dengan adanya bentrok mematikan), maupun di Gunung Mas (meski tanpa kekerasan, hak hukum masyarakat atas tambang belum diakui legal). Komnas HAM tengah menyusun peta jalan penyelesaian konflik agraria berbasis HAM , yang menekankan: pengakuan hak rakyat, kewajiban negara menyelesaikan konflik, dan penghindaran kekerasan. Tiga kasus ini mendukung urgensi peta jalan tersebut – agar ada pedoman jelas bagi pemerintah menangani konflik dengan pendekatan HAM.
Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa penanganan konflik agraria berkeadilan di Indonesia masih jauh dari harapan karena kendala struktural (ketimpangan penguasaan lahan, ekonomi politik yang memihak modal) dan kelembagaan (regulasi yang belum memadai, ketiadaan institusi khusus, serta bias aparat) . Pendekatan teoritis keadilan sosial dan HAM yang seharusnya menjadi dasar, sering terpinggirkan oleh paradigma keamanan dan legal-formal semata. Akibatnya, penyelesaian konflik berlangsung lamban, banyak yang status quo atau bahkan memburuk dengan kekerasan, alih-alih tuntas dengan keadilan bagi korban.
Dalam konteks nasional, pemerintah perlu melakukan reformasi menyeluruh: membentuk lembaga otoritatif di bawah Presiden untuk percepatan penyelesaian konflik agraria lintas sektor , menerbitkan landasan hukum level undang-undang yang kuat (UU Reforma Agraria) yang memandatkan resolusi konflik dan mengungguli regulasi pror investasi , serta menjadikan penyelesaian konflik agraria sebagai indikator kinerja (bukan sekadar bagi-bagi sertifikat) . Pendekatan keamanan harus diubah ke pendekatan dialogis dan humanis. Data korban tewas dan kriminalisasi yang tinggi tidak boleh berlanjut; aparat harus dilatih dan diperintahkan menghormati SOP HAM saat menangani sengketa lahan. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lokal perlu diintegrasikan dalam solusi – misalnya melalui skema kemitraan, koperasi, WPR, dan sebagainya, sehingga mereka mendapat manfaat nyata dari reforma agraria.
Khusus di Kalimantan Tengah, evaluasi terhadap seluruh perizinan perkebunan dan tambang yang bermasalah perlu dipercepat. Kasus Bangkal menunjukkan perlunya audit HGU – HGU yang terindikasi diperoleh dengan mengabaikan hak rakyat semestinya dicabut atau dikurangi arealnya . Pemerintah daerah bisa proaktif membentuk Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Agraria melibatkan unsur masyarakat sipil dan tokoh adat , sebagaimana tuntutan koalisi di Kalteng pasca kasus Bangkal. Tim ini bisa menginventarisasi konflik, memediasi para pihak, dan merekomendasikan penyelesaian berbasis lokal wisdom dan HAM.
Studi kasus Gunung Mas memberikan inspirasi positif: bahwa fleksibilitas kebijakan dan keberpihakan pada rakyat bisa meredam konflik. Mengakui tambang rakyat melalui WPR/IPR adalah contoh solusi kreatif. Pola ini bisa direplikasi untuk konflik agraria lain – misal, pada sengketa hutan adat vs konsesi, pemerintah bisa keluarkan penetapan hutan adat atau skema perhutanan sosial agar masyarakat tetap mendapat akses. Intinya, solusi win-win yang memenuhi hak dasar ekonomi rakyat sekaligus menjaga kepastian hukum investasi perlu selalu dicari.
Terakhir, perspektif HAM harus dijadikan arus utama. Setiap konflik agraria hendaknya dilihat sebagai potensi pelanggaran HAM sehingga negara wajib hadir mencegah pelanggaran tersebut. Keadilan substantif (mengembalikan hak yang dirampas) dan keadilan prosedural (proses yang adil, partisipatif, tanpa kekerasan) adalah dua sisi yang sama pentingnya. Ketika penyelesaian konflik berhasil memenuhi keduanya, barulah dapat dikatakan berkeadilan dan berkelanjutan. Tanpa itu, konflik agraria akan terus menjadi “luka” sosial yang merusak harmoni masyarakat dan menghambat tujuan pembangunan berkelanjutan.
link Paper: PENANGANAN KONFLIK AGRARIA BERKEADILAN DI KALTENG (2)
Daftar Pustaka:
• Dewi Kartika (Sekjen KPA) dkk., Mendorong Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis HAM, Mongabay Indonesia (18 Maret 2024) .
• Henry Saragih (Ketum SPI) dkk., Siaran Pers SPI: Konflik Agraria Meregang Nyawa di Bangkal, tak lama setelah Perpres Reforma Agraria disahkan (9 Oktober 2023) .
• Laporan Mongabay Indonesia: Tuntut Plasma PT HMBP, Seorang Warga Seruyan Tewas, peristiwa Bangkal, 8 Oktober 2023 .
• Laporan iNews Kalteng: Sengketa Lahan, Warga Dua Kubu di Kotim Bentrok Satu Tewas, 12 September 2023 .
• Seputar Borneo: Kasasi Hok Kim Ditolak, MA Perkuat Putusan PT Palangka Raya, 5 Juni 2024 .
• Media Dayak: Tambang Emas Bukit Naga Sebaiknya Dijadikan WPR, 16 Januari 2023 .
• Media Dayak: 95% Warga Gumas Pilih Tambang Emas Mikro, Pemkab Siapkan WPR/IPR, 28 Juli 2025 .
• Mongabay Indonesia: Emas Melambung, Tambang Marak, Lingkungan Buntung?, 21 Mei 2025 .
• Sumber-sumber lain sebagaimana tercantum dalam catatan kaki/kutipan referensi di atas.








