MEMANDANG KEHIDUPAN DARI SUDUT PANDANG ALLAH

Penulis Artikel : oleh Dr. Ari Yunus Hendrawan

Paper 02 Agustus 2025, Palangka Raya – Setiap orang memandang kehidupan dengan cara yang berbeda. Ada yang menganggap hidup ini sebagai ajang pesta pora, sehingga mereka mengejar kesenangan semata tanpa memikirkan akhir. Yang lain melihat hidup sebagai balapan – perlombaan tanpa henti untuk mencapai garis finis terdepan, seolah-olah prestasi duniawi adalah segalanya. Ada pula yang memandang hidup layaknya pertempuran atau medan perang, penuh konflik dan perjuangan di mana mereka harus berjuang mengalahkan musuh-musuh kehidupan. Bagaimana dengan Anda? Bagaimana Anda memandang kehidupan Anda sendiri?

Cara kita memandang kehidupan akan sangat memengaruhi cara kita menjalaninya. Pandangan hidup ibarat kerangka atau lensa: jika lensa kita kabur atau salah, maka seluruh sikap dan keputusan kita pun bisa keliru. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk memastikan sudut pandang kita selaras dengan sudut pandang Allah, Sang Pencipta kehidupan. Firman Tuhan mengingatkan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2). Ayat ini menantang kita untuk tidak terpaku pada pola pikir duniawi, melainkan mengalami pembaruan budi – perubahan cara pandang – agar dapat mengerti kehendak Allah yang sejati.

Tulisan ini mengajak kita melihat kehidupan dari sudut pandang Allah menurut Alkitab. Ada tiga metafora utama yang digunakan Alkitab untuk menggambarkan hakikat kehidupan di dunia ini, yaitu: (1) Kehidupan di bumi hanya sementara, (2) Kehidupan di dunia sebagai ujian, dan (3) Kehidupan di dunia sebagai kepercayaan (amanat atau tanggung jawab dari Allah). Ketiga perspektif ilahi ini akan dibahas secara tematis dalam bab-bab berikut. Setiap bab akan menguraikan makna tiap metafora tersebut disertai penjelasan teologis-reflektif dan aplikasi praktis, lengkap dengan rujukan ayat-ayat Alkitab yang relevan.

Melalui pemahaman yang mendalam ini, diharapkan kita semua – para pembaca yang budiman – dapat mengalami pembaruan cara pandang. Dengan melihat hidup sebagaimana Allah memandangnya, kita dapat menjalani hari-hari kita di dunia dengan bijaksana, penuh iman, pengharapan, dan kasih. Kita akan lebih siap menghadapi tantangan hidup, tetap setia dalam ujian, dan bertanggung jawab dalam mengelola setiap karunia yang dipercayakan Tuhan.

Marilah kita memasuki perjalanan ini dengan hati dan pikiran yang terbuka. Biarlah kebenaran firman Tuhan menuntun kita untuk memandang kehidupan dengan perspektif surgawi, sehingga setiap langkah hidup kita berkenan di hadapan-Nya.

 

 

 

Bab 1

KEHIDUPAN DI BUMI SEMENTARA

Hidup di dunia ini, menurut kebenaran firman Tuhan, bersifat fana dan sementara. Manusia berada di bumi hanya untuk masa yang singkat jika dibandingkan dengan kekekalan. Alkitab berulang kali menggambarkan betapa singkat dan sementaranya kehidupan kita, mengingatkan kita agar tidak melekatkan hati kepada hal-hal duniawi yang sementara. Berikut beberapa gambaran Alkitab tentang kefanaan hidup di dunia:

1.1 Seperti Bayang-Bayang yang Berlalu

Salah satu metafora yang dipakai Alkitab untuk melukiskan singkatnya hidup adalah bayang-bayang. Bayang-bayang muncul sebentar ketika ada cahaya, lalu segera hilang ketika senja tiba. Demikian pula umur manusia di bumi. “… hari-hari kita di bumi seperti bayang-bayang” (Ayub 8:9). Ayat ini mengingatkan bahwa hidup kita cepat berlalu dan tidak ada manusia yang hidup selamanya di dunia ini.

Bayangkan bayang-bayang di sore hari yang kian memanjang lalu lenyap saat matahari terbenam. Seperti itulah hari-hari kita: terbatas dan segera berakhir. Menyadari bahwa hidup ini sementara bagaikan bayang-bayang hendaknya membuat kita bijaksana dalam menggunakan waktu yang ada. Kita tidak layak menyia-nyiakannya hanya untuk kesenangan sesaat. Sebaliknya, kita perlu memanfaatkan hidup yang singkat ini untuk melakukan hal-hal yang bermakna kekal, sesuai kehendak Allah.

1.2 Orang Asing di Dunia

Selain bayang-bayang, Alkitab juga menyebut kita sebagai orang asing atau pendatang di bumi ini. Daud menyadari hal ini ketika berdoa, “Sebab aku menumpang pada-Mu, aku pendatang seperti semua nenek moyangku” (Mazmur 39:13). Di hadapan Allah, kita hanyalah musafir yang sedang berkelana; bumi ini bukanlah rumah abadi kita. Nenek moyang iman kita pun mengaku bahwa mereka “asing dan pendatang” di bumi (lih. Ibrani 11:13).

Sebagai orang asing, kita tidak akan pernah sepenuhnya “nyaman” berbaur dengan nilai-nilai dunia yang bertentangan dengan kehendak Allah. Kita hidup di tengah dunia, namun identitas kita berbeda. Orang yang menyadari dirinya pendatang tidak akan tertarik untuk menetap selamanya atau larut dalam budaya setempat yang negatif. Demikian pula, orang percaya yang sadar bahwa dirinya warga Kerajaan Allah akan merasa janggal dengan pola hidup duniawi yang berdosa. Kita akan merindukan “rumah” yang sesungguhnya, yaitu bersama Allah di surga, dan tidak terlena oleh gemerlap semu dunia ini.

1.3 Menumpang Sementara di Bumi

Rasul Petrus menggunakan istilah menumpang untuk menggambarkan keberadaan kita di dunia. Ia menasihati, “Hiduplah dalam takut akan Allah selama kamu menumpang di dunia ini” (1 Petrus 1:17). Menumpang berarti tinggal sementara waktu di tempat orang lain. Hidup kita di dunia memang hanyalah persinggahan sementara yang Tuhan ijinkan. Suatu hari kelak, kita akan meninggalkan “tempat menumpang” ini dan kembali kepada Bapa di rumah surgawi.

Karena status kita hanyalah penumpang sementara, sepatutnyalah kita hidup dengan sikap hormat dan waspada. Orang yang menumpang di tempat asing tentu akan menjaga tingkah lakunya, sadar bahwa ia berada di bawah aturan dan pengawasan pemilik tempat. Demikian pula kita: selama menumpang di dunia ini, kita hidup di bawah pengawasan Allah, Sang Empunya kehidupan. Kita kelak harus mempertanggungjawabkan diri di hadapan-Nya setelah masa “menumpang” ini usai. Kesadaran ini hendaknya menuntun kita untuk tidak hidup sembarangan atau gegabah, melainkan dengan sikap takut akan Allah dan kesiapan untuk “pulang” kapan pun Tuhan memanggil.

1.4 Warga Kerajaan Sorga

Jika bumi bukan tempat tinggal permanen kita, lalu di manakah kewarganegaraan kita? Firman Tuhan dengan jelas menyatakan: “Kewarganegaraan kita adalah di dalam sorga” (Filipi 3:20). Artinya, sekalipun sekarang kita hidup di dunia, status kita di mata Allah adalah warga Kerajaan Surga. Ibarat seorang pemegang Green Card di negara asing, kita boleh tinggal di dunia ini untuk sementara, tetapi kewarganegaraan sejati kita bukanlah di bumi melainkan di surga.

Sebagai warga surgawi, kita dipanggil untuk hidup mengikuti hukum dan budaya surgawi, bukan hanyut dalam budaya dunia yang asing bagi kita. Seorang warga negara yang tinggal di perantauan biasanya tetap mengingat tanah airnya dan menjunjung tinggi identitas asalnya. Demikian pula, orang percaya seharusnya lebih mengutamakan loyalitas kepada Kerajaan Allah daripada kesetiaan kepada pola hidup dunia. Kita mengarahkan hati kepada Kristus di surga, “dari mana kita juga menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat” (Filipi 3:20b). Kerinduan kita tertuju ke sana, tempat asal dan tujuan akhir perjalanan kita. Dengan menyadari status sebagai warga surga, kita tidak akan terikat pada perkara-perkara fana di bumi, melainkan fokus mengejar perkara yang bernilai kekal.

1.5 Tidak Berkompromi dengan Dunia

Karena kita warga Kerajaan Surga, kita tidak boleh bersahabat apalagi berkompromi dengan dunia dalam pengertian sistem nilai dan gaya hidup yang menolak Allah. Alkitab memberikan peringatan tegas: “Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah” (Yakobus 4:4). Ayat ini berbicara dengan jelas bahwa kita tak mungkin mendua: tidak bisa sekaligus mengabdi kepada Allah namun bersahabat karib dengan gaya hidup dunia yang berdosa.

Dunia dengan segala daya tariknya seringkali berusaha memikat hati kita agar lupa bahwa hidup ini sementara. Jika kita terjerat persahabatan dengan dunia, kita akan kehilangan perspektif kekekalan. Oleh sebab itu, sebagai orang percaya kita harus tegas menjaga kekudusan dan komitmen kita. Janganlah kita membiarkan nilai-nilai dunia yang bertentangan dengan firman Tuhan meresap ke dalam hati. Kita adalah milik Allah dan tujuan hidup kita adalah menyenangkan Dia, bukan dunia. Dengan menyadari bahwa hidup di bumi hanyalah sementara, kita dimampukan berkata “tidak” pada godaan dunia yang sia-sia, dan berkata “ya” pada kehendak Allah yang membawa kepada hidup kekal.

Bab 1 ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup di dunia bersifat sementara dan fana. Kita hanyalah musafir yang sedang dalam perjalanan pulang ke kampung halaman surgawi. Karena itu, kita hendaknya tidak terbuai oleh kesementaraan dunia. Sebaliknya, mari gunakan setiap detik hidup kita dengan bijak dan berharga, mengingat bahwa “bayang-bayang” hidup kita segera berlalu dan hanya apa yang dilakukan bagi Kristus yang akan bertahan selamanya.

Bab 2: Kehidupan di Dunia adalah Ujian

Di samping bersifat sementara, kehidupan di dunia ini juga merupakan serangkaian ujian bagi manusia. Tuhan mengizinkan berbagai pengalaman – baik suka maupun duka – untuk menguji hati dan membentuk kita semakin sesuai dengan rencana-Nya. Seperti seorang guru yang bijak, Allah menggunakan ujian kehidupan bukan untuk menjatuhkan kita, melainkan untuk meningkatkan karakter rohani kita. Setiap tantangan, godaan, atau penderitaan yang kita alami sesungguhnya memiliki maksud ilahi, yaitu menguji dan menumbuhkan kualitas seperti iman, ketaatan, kasih, integritas, dan kesetiaan dalam diri kita.

2.1 Ujian Membentuk Karakter Ilahi

Allah jauh lebih peduli pada kematangan karakter kita daripada sekadar kenyamanan hidup kita. Oleh karena itu, Dia kerap menguji kita untuk membentuk karakter ilahi di dalam diri kita. Sifat-sifat seperti iman yang teguh, ketaatan yang rela, kasih yang tulus, integritas yang kokoh, dan kesetiaan yang teruji hanya dapat nyata setelah melewati ujian-ujian kehidupan.

Seringkali, ujian datang dalam bentuk situasi sehari-hari: ketika doa kita belum terjawab segera, Allah sedang melatih kesabaran dan iman kita. Ketika kita tergoda berbuat curang demi keuntungan, itu ujian atas integritas dan ketaatan kita kepada kebenaran. Saat kita disakiti orang lain, hati kita diuji apakah tetap dapat mengasihi dan mengampuni. Dalam masa sulit atau penderitaan, Allah melihat apakah kita setia berpegang pada-Nya atau menyerah. Melalui semua ini, Tuhan membentuk kita sedikit demi sedikit. Bagai pahat memahat batu, setiap pukulan ujian yang diizinkan Tuhan bertujuan mengukir karakter Kristus dalam diri kita.

2.2 Teladan Ujian Iman dalam Alkitab

Alkitab penuh dengan contoh tokoh-tokoh yang menghadapi ujian iman dan karakter. Abraham diuji imannya ketika diminta mempersembahkan Ishak, anak tunggal yang sangat dikasihinya. Dalam ketaatan yang radikal, Abraham rela menaati perintah Allah, dan melalui ujian itu terbukti bahwa ia takut akan Allah lebih daripada segala sesuatu. Yakub menjalani serangkaian ujian dalam hidupnya – pelarian dari Esau, ditipu oleh Laban, bergulat semalaman dengan Malaikat Tuhan – yang semuanya membentuknya dari pribadi licik menjadi Israel, pribadi yang belajar bersandar pada Allah. Yusuf mengalami ujian beruntun: dikhianati saudara-saudaranya, dijual sebagai budak, difitnah dan dipenjara tanpa bersalah. Namun, di setiap tahap ujian tersebut Yusuf lulus dengan predikat iman dan integritas yang tinggi – ia tidak pernah meninggalkan Allah ataupun nilai-nilai kebenaran, sehingga akhirnya Tuhan mengangkatnya menjadi penguasa Mesir yang bijaksana.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang dipakai Allah biasanya harus terlebih dahulu melewati proses ujian yang membentuk kapasitas rohani mereka. Ujian menjadi sarana Tuhan mempersiapkan mereka untuk rencana besar-Nya. Demikian pula dengan kita, tidak ada karakter mulia tanpa melewati lembah ujian.

2.3 Ujian Mengungkap Isi Hati

Ujian hidup bukan hanya membentuk, tetapi juga mengungkapkan isi hati kita yang sebenarnya. Sering kali, saat hidup lancar, kita sendiri tidak tahu apa yang tersembunyi dalam hati kita. Namun ketika masalah datang atau godaan melanda, reaksi kita menunjukkan kualitas terdalam di hati. Apakah kita bersabar atau mudah marah? Tetap jujur atau memilih jalan pintas dosa? Setia atau mengingkari Tuhan? Ujian adalah cermin yang memperlihatkan siapa diri kita sesungguhnya.

Alkitab mencatat kisah Raja Hizkia sebagai contoh. Setelah mengalami mukjizat kesembuhan dan berkat, Hizkia mendapat kunjungan utusan dari Babel. Allah membiarkan Hizkia menghadapi situasi itu tanpa petunjuk langsung, untuk menguji reaksinya. Ternyata, Hizkia tergelincir dalam kesombongan: ia memamerkan semua harta kerajaannya kepada para utusan itu, alih-alih memuliakan Tuhan yang telah memberkati dia. Mengenai peristiwa ini, tertulis: “Allah meninggalkan dia untuk mencobainya, supaya diketahui segala isi hatinya” (2 Tawarikh 32:31). Ujian terhadap Hizkia mengungkapkan bahwa masih ada kesombongan tersembunyi di hatinya. Sesudah itu, Hizkia sadar dan merendahkan diri (2 Tawarikh 32:26), tetapi peristiwa tersebut menjadi pelajaran abadi bahwa Allah mengetahui dan memperlihatkan isi hati manusia melalui ujian.

Demikian pula dalam hidup kita, setiap ujian bisa membuka mata kita terhadap kondisi hati kita yang sebenarnya. Bila Tuhan menunjukkan kelemahan atau dosa hati kita lewat ujian, itu merupakan kesempatan bagi kita untuk bertobat dan diperbaiki. Ujian akan memurnikan motivasi kita, apakah kita mengasihi Tuhan sepenuh hati atau hanya saat keadaan baik saja.

2.4 Iman yang Dimurnikan seperti Emas

Selain mengungkapkan, tujuan Allah mengizinkan ujian adalah untuk memurnikan iman kita. Iman kita diibaratkan seperti emas murni yang nilainya sangat tinggi. Untuk memurnikan emas, diperlukan api yang membakar dan meleburkan logam itu sehingga kotoran-kotorannya terangkat keluar. Proses serupa terjadi pada iman kita: melalui “api” pencobaan, iman kita dimurnikan dari hal-hal yang tidak murni – entah itu kesombongan, ketergantungan pada hal lain selain Allah, atau motif-motif yang salah.

Rasul Petrus menulis tentang hal ini: berbagai ujian terjadi “supaya kemurnian imanmu – yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api – terbukti” (1 Petrus 1:7). Allah menghendaki iman kita keluar dari perapian ujian dalam keadaan murni, tulus, dan kuat, sehingga hidup kita memancarkan kemuliaan bagi-Nya. Sama seperti emas yang semakin berkilau setelah dimurnikan, demikian pula hidup orang beriman akan semakin memancarkan karakter Kristus setelah melewati ujian demi ujian. Memang, proses pemurnian ini tidak nyaman – sama seperti emas yang dilebur dalam nyala api – namun hasil akhirnya sangat mulia dan indah. Iman yang teruji dan murni akan menghasilkan puji-pujian, kemuliaan, dan kehormatan pada saat kedatangan Yesus Kristus kelak (1 Petrus 1:7b).

2.5 Tuhan Membatasi Pencobaan

Ketika kita berbicara tentang ujian atau pencobaan, mungkin terlintas kekhawatiran: mampukah kita bertahan? Apakah ujian ini tidak terlalu berat? Firman Tuhan memberikan penghiburan luar biasa: “Allah setia dan Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1 Korintus 10:13). Ini berarti, setiap ujian yang datang telah disaring terlebih dahulu oleh kasih dan kedaulatan Allah. Dia mengenal batas kekuatan kita lebih daripada kita sendiri.

Seperti seorang guru yang tahu batas kemampuan muridnya, Allah tidak akan mengizinkan ujian yang mustahil kita pikul dengan pertolongan-Nya. Selalu ada “jalan keluar” yang Tuhan sediakan – entah itu kekuatan ekstra, hikmat, penghiburan, atau pertolongan lainnya – sehingga kita dapat bertahan. Pemahaman ini seharusnya menenangkan hati kita: kita tidak perlu putus asa di tengah pencobaan, sebab Tuhan beserta kita dan Ia telah mengukur intensitas pencobaan itu sesuai dengan kemampuan yang Dia karuniakan. Bagian kita adalah bersandar pada-Nya, mencari jalan keluar yang Dia sediakan, dan belajar dari setiap pengalaman. Allah setia, Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian dalam ujian.

2.6 Mahkota Kehidupan bagi yang Tahan Uji

Ujian memang tidak enak, tetapi ada sukacita dan berkat di balik setiap ujian yang berhasil dilalui. Yakobus 1:12 menyatakan janji yang menguatkan: “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Allah menjanjikan “mahkota kehidupan” bagi setiap orang yang tetap setia dan lulus dari ujian iman. Mahkota kehidupan melambangkan sukacita dan kemuliaan hidup kekal yang Tuhan sediakan sebagai upah bagi anak-anak-Nya yang tekun.

Penghiburan ini mengajar kita bahwa penderitaan dan perjuangan kita dalam menghadapi ujian tidaklah sia-sia. Ada “hadiah” mulia menanti, yang jauh melebihi kenyamanan sementara yang mungkin kita korbankan demi kesetiaan kepada Tuhan. Setiap air mata dan pengorbanan karena mempertahankan iman akan diganjar oleh Tuhan dengan sukacita kekal. Pada akhirnya, kehidupan di dunia ini hanyalah ruang ujian sementara; sedangkan upah dan perhentian sejati menanti kita di kekekalan.

Melihat kehidupan sebagai ujian menolong kita untuk memiliki sikap yang benar dalam segala keadaan. Kita tidak lagi memandang masalah sebagai musibah semata, melainkan sebagai kesempatan untuk bertumbuh dan menyenangkan hati Tuhan. Dengan perspektif ini, kita dimampukan untuk bersyukur dalam penderitaan, tekun dalam godaan, dan teguh dalam tekanan, sebab kita tahu setiap ujian punya maksud ilahi dan mahkota kehidupan menanti di garis akhir bagi yang setia.

BAB 3

KEHIDUPAN DI DUNIA ADALAH KEPERCAYAAN

Metafora ketiga yang Alkitab berikan mengenai kehidupan adalah bahwa hidup ini merupakan sebuah kepercayaan atau amanat dari Allah. Artinya, segala yang kita miliki dan alami dalam hidup sesungguhnya adalah titipan dari Tuhan, di mana kita dipercayakan untuk mengelolanya sebaik mungkin sesuai kehendak-Nya. Konsep ini lazim disebut sebagai penatalayanan atau stewardship. Allah adalah Pemilik yang sesungguhnya, sedangkan kita manusia ditempatkan sebagai pengelola yang suatu hari harus mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan tersebut.

3.1 Allah Pemilik Segala Sesuatu

Hal pertama yang harus kita sadari ialah bahwa Allah lah pemilik seluruh alam semesta beserta isinya. “TUHANlah yang empunya bumi dan segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1). Setiap jengkal bumi, setiap makhluk hidup, termasuk hidup kita sendiri adalah milik Tuhan. Kita ada karena Dia menciptakan kita, dan segala yang kita miliki pada hakikatnya berasal dari anugerah-Nya.

Kesadaran akan kedaulatan Allah sebagai pemilik menolong kita untuk tidak bersikap sombong seolah-olah kita ini berkuasa mutlak atas hidup dan milik kita. Segenap harta, talenta, waktu, dan kesempatan yang ada pada kita sebenarnya bukan milik pribadi yang bisa kita pergunakan seenaknya, melainkan milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita untuk tujuan-Nya. Sebagaimana pemazmur berkata di tempat lain, “segala kepunyaanku berasal dari-Mu, ya Tuhan” (lih. 1 Tawarikh 29:14). Kita hanyalah penerima titipan yang harus selalu ingat kepada Pemilik aslinya.

3.2 Manusia Hanya Pengelola, Bukan Pemilik

Sejak awal penciptaan, Allah telah menetapkan peran manusia sebagai pengelola atas ciptaan-Nya. Ketika menciptakan Adam dan Hawa, Tuhan memberkati mereka dan berfirman: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang…” (Kejadian 1:28). Ini dikenal sebagai mandat budaya, yakni kuasa dan tanggung jawab yang diberikan Allah kepada manusia untuk mengatur dan memelihara bumi. Dengan kata lain, manusia ditempatkan Tuhan sebagai manager atas dunia ciptaan-Nya.

Penting untuk diingat bahwa kuasa mengelola ini bukan berarti manusia boleh mengeksploitasi atau berlaku sewenang-wenang. Justru sebaliknya, kita dipanggil menjadi pengelola yang baik (good steward) yang menjalankan kepercayaan Allah dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Tuhan berfirman bahwa manusia harus “menaklukkan” bumi, tetapi ini harus dimaknai sebagai mengusahakan alam dan sumber daya sesuai maksud Tuhan – merawat, mengolah, dan memanfaatkan demi kebaikan bersama dan kemuliaan Nama-Nya.

Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini berarti setiap aspek hidup kita adalah area penatalayanan. Uang yang kita miliki, pekerjaan dan karier yang kita tekuni, keluarga yang kita bina, bahkan tubuh dan kesehatan kita – semuanya adalah milik Tuhan yang dipercayakan supaya kita kelola dengan hikmat. Kita bukan pemilik mutlak atas apapun; kita hanyalah pelayan-pelayan yang diberi tugas untuk mengelola milik Tuannya.

3.3 Kesetiaan dalam Perkara Kecil

Karena kita hanyalah pengelola, hal terpenting yang dituntut dari kita adalah kesetiaan. “Pada akhirnya, yang dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercaya” (1 Korintus 4:2). Tuhan menghendaki kita dapat dipercaya dalam menjalankan setiap kepercayaan yang diberikan-Nya. Salah satu prinsip yang diajarkan Yesus adalah bahwa kesetiaan kita akan diuji terutama dalam perkara-perkara kecil. “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Mengapa hal-hal kecil? Karena justru di situlah ketulusan dan disiplin kita teruji. Orang yang setia membersihkan ruangan kecil ketika tidak ada yang melihat, besar kemungkinan akan setia pula jika kelak diberi tanggung jawab membersihkan seluruh gedung. Sebaliknya, siapa mengabaikan perkara kecil menunjukkan ia tak layak dipercayakan perkara besar. Tuhan memperhatikan bagaimana kita mengelola hal-hal yang nampaknya sepele: bagaimana kita menggunakan waktu luang, bagaimana sikap kita terhadap uang dalam jumlah kecil, bagaimana kita merawat barang milik kita, atau seberapa jujur kita dalam tugas kecil di kantor. Semua itu mencerminkan apakah dalam hati kita terdapat integritas dan tanggung jawab. Bila ya, Tuhan bisa mempercayakan berkat dan tanggung jawab yang lebih besar lagi. Namun bila tidak, mengapa Ia harus mempercayakan hal yang lebih besar? Prinsip ilahi ini tegas dan adil.

3.4 Diberi Kepercayaan Sesuai Kemampuan

Yesus mengajarkan prinsip kepercayaan dan pertanggungjawaban ini secara gamblang melalui perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-29). Dalam kisah itu, seorang tuan memberikan hartanya kepada tiga orang hamba sebelum ia pergi. Masing-masing hamba menerima jumlah yang berbeda – satu orang lima talenta, yang lain dua talenta, dan yang terakhir satu talenta – “masing-masing menurut kesanggupannya” (Mat. 25:15). Sang tuan tahu kemampuan tiap hamba, sehingga ia tidak memberi melebihi atau kurang dari kemampuan mereka. Ini menunjukkan bahwa Allah juga memberi kita kepercayaan sesuai kapasitas kita. Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain: setiap orang menerima porsi tanggung jawab yang unik dari Tuhan, dan yang diminta dari kita hanyalah mengerjakan bagian kita dengan sebaik-baiknya.

Dalam perumpamaan tersebut, hamba yang menerima lima dan dua talenta segera mengusahakan uang itu dan berhasil menggandakannya. Ketika tuan mereka kembali, kedua hamba ini menyerahkan keuntungan masing-masing. Sang tuan pun memuji dan menghadiahi mereka: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, sebab itu aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21, 23). Perhatikan, penghargaan diberikan bukan karena jumlah talenta yang dihasilkan – yang satu menghasilkan lima, yang lain dua, tetapi keduanya sama-sama disebut “baik dan setia”. Kuncinya adalah kesetiaan dan kerja keras mereka sesuai kemampuan masing-masing. Sebagai ganjaran, tuan itu mempercayakan tanggung jawab lebih besar lagi (perkara besar) dan mengundang mereka masuk dalam sukacitanya.

Sebaliknya, hamba ketiga yang mendapat satu talenta memilih mengubur uang itu di dalam tanah dan tidak mengusahakannya. Ia malas dan takut, sehingga tidak menghasilkan apa-apa dari kepercayaan tuannya. Ketika sang tuan kembali, hamba ini dikatakan sebagai “hamba yang jahat dan malas”. Talenta satu unit itu pun diambil daripadanya dan ia dihukum (Mat. 25:26-30). Kisah ini memberikan peringatan serius bahwa kegagalan dalam mengelola kepercayaan Allah akan mendatangkan kerugian dan penyesalan. Tuhan menghendaki kita aktif dan bertanggung jawab, bukan pasif apalagi lalai.

Akhirnya, perumpamaan Yesus ini menggambarkan apa yang kelak terjadi dengan hidup kita. Tuhan adalah Tuan yang akan datang kembali untuk meminta pertanggungjawaban. Kita adalah hamba-hamba-Nya yang masing-masing telah menerima “talenta-talenta” kehidupan – bisa berupa waktu, uang, keahlian, kesempatan, Injil, dan lain-lain. Suatu hari kelak, kita akan “menyerahkan buku laporan” di hadapan takhta-Nya. Kiranya pada hari itu kita didapati sebagai hamba yang baik dan setia, yang mengembalikan kepercayaan Tuhan dengan hasil berlipat ganda.

3.5 Tuhan Menilai Ketulusan Hati

Dalam menjalankan peran sebagai pengelola, bukan hanya kuantitas hasil yang Tuhan nilai, tetapi juga kualitas hati kita. Allah melihat motivasi terdalam mengapa dan bagaimana kita melakukan sesuatu. Kisah dalam Injil Markus 12:41-44 sangat mengena tentang hal ini. Tuhan Yesus suatu kali memperhatikan orang-orang memberi persembahan di Bait Allah. Banyak orang kaya memberikan jumlah besar dari kelimpahannya. Lalu datanglah seorang janda miskin yang hanya memasukkan dua peser, nilainya sangat kecil. Secara kasat mata, pemberian janda itu tak berarti apa-apa dibandingkan sumbangan orang-orang kaya. Namun Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Janda miskin ini telah memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya” (Markus 12:43-44). Di mata manusia, jumlah besar adalah ukuran keberhasilan. Tetapi di mata Tuhan, ketulusan dan pengorbanan lah ukuran yang sejati. Janda itu lulus sebagai pengelola yang setia, meski yang ia kelola amat sedikit, karena ia memberikan dengan kasih dan iman yang total kepada Allah.

Prinsip ini sangat penting: Tuhan menilai hati. “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (1 Samuel 16:7). Motivasi yang salah – misalnya melakukan sesuatu hanya demi pujian manusia atau keuntungan pribadi semata – akan mengurangi nilai di hadapan Tuhan, betapapun besar dan bagusnya pencapaian lahiriah kita. Sebaliknya, pelayanan atau perbuatan baik yang mungkin tampak kecil di mata orang, jika dilakukan dengan kasih yang tulus kepada Tuhan, akan sangat dihargai oleh-Nya. Karena itu, dalam mengelola setiap kepercayaan dari Allah, marilah kita meluruskan motivasi kita. Lakukanlah segala sesuatu seolah-olah untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Berikan yang terbaik, bukan supaya dilihat orang, melainkan sebagai wujud syukur dan ibadah kita kepada Sang Pemberi hidup.

Ketika kita menyadari bahwa seluruh hidup ini adalah kepercayaan dari Allah, sikap kita terhadap segala sesuatu akan berubah. Kita tidak lagi berkata “ini milikku” dengan angkuh, melainkan bertanya “apa yang Tuhan ingin aku lakukan dengan titipan-Nya ini?”. Kita termotivasi untuk setia dalam perkara kecil maupun besar, dan melakukannya dengan hati yang mengasihi Tuhan. Pada akhirnya, hidup dengan perspektif ini akan membuat kita mendengar Tuhan berkata, “Baik sekali, hamba-Ku yang baik dan setia.” Itulah penghargaan tertinggi yang melebihi apa pun di dunia ini.

PENUTUP

Memahami cara pandang Allah terhadap kehidupan memberikan kita kompas rohani yang jelas dalam menapaki hari-hari di dunia ini. Kita telah belajar bahwa hidup di dunia ibarat sementara seperti bayang-bayang, merupakan ujian yang membentuk iman, dan merupakan kepercayaan yang harus diemban dengan setia. Ketiga perspektif ini saling melengkapi dan membimbing kita pada hidup yang bermakna di hadapan Tuhan.

Pertama, menyadari bahwa hidup ini sementara menolong kita untuk tidak terikat pada hal-hal fana. Kita tidak lagi menjalani hidup seolah-olah dunia ini segala-galanya. Sebaliknya, mata rohani kita tertuju ke kekekalan. Nilai-nilai kita berubah: yang terpenting bukanlah harta, status, atau kenikmatan sesaat, melainkan mengenal Allah dan melakukan kehendak-Nya. Kesadaran akan kefanaan hidup juga menghibur kita di tengah penderitaan – bahwa “sakit penyakit dan air mata” di dunia hanya sementara, akan digantikan kemuliaan abadi yang disediakan Allah bagi kita. Hidup sementara ini adalah kesempatan emas yang Tuhan berikan untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan yang sesungguhnya di kekekalan.

Kedua, memandang hidup sebagai ujian membuat kita waspada dan tekun. Kita sadar tiada situasi yang sia-sia; tiap musim suka maupun duka mengandung maksud ilahi untuk menguatkan iman dan memperhalus karakter kita. Ketika pencobaan datang, kita tidak lagi bertanya “mengapa aku menderita?”, melainkan “Tuhan, pelajaran apa yang Engkau ingin aku petik?”. Sikap hati kita diubahkan: dari bersungut-sungut menjadi berserah, dari putus asa menjadi penuh pengharapan. Dengan pertolongan Roh Kudus, kita dimampukan bertahan dalam ujian apa pun karena kita tahu Allah setia menyertai. Ujung dari segala ujian ini adalah kematangan rohani dan mahkota kehidupan yang menanti sebagai ganjaran dari Bapa.

Ketiga, melihat hidup sebagai kepercayaan membuat kita hidup bertanggung jawab. Kita memahami bahwa segala milik dan kemampuan kita adalah titipan Tuhan yang harus digunakan dengan bijak untuk kemuliaan-Nya. Kita tidak lagi hidup egois atau sembarangan, karena menyadari tiap kata, tiap perbuatan, tiap rupiah yang kita belanjakan, hingga tiap talenta yang kita miliki akan dimintai pertanggungan jawab. Namun ini bukan beban yang menakutkan, melainkan kehormatan mulia – Sang Raja Percaya kepada kita! Ia mempercayakan keluarga, pekerjaan, pelayanan, dan berbagai hal kepada kita untuk diurus atas nama-Nya. Betapa indah bila kelak kita boleh menyerahkan kembali semuanya dengan sukacita, dan mendengar Dia berfirman, “Baik sekali, hambaku yang baik dan setia.”

Pada akhirnya, marilah kita senantiasa memohon agar Tuhan memperbaharui budi dan cara pandang kita setiap hari (Roma 12:2). Biarlah firman-Nya menolong kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang kekal. Dunia dan keinginannya suatu saat akan berlalu, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah hidup selama-lamanya (1 Yohanes 2:17). Ketika kita memandang hidup dengan cara pandang Allah, kita akan hidup secara berbeda pula: lebih berhati-hati namun berani, lebih rendah hati namun penuh keyakinan, lebih berfokus pada yang kekal daripada yang sementara.

Kiranya setiap pembaca dapat menangkap visi ilahi ini dan mengaplikasikannya. Hidup kita di dunia memang singkat bagaikan sekilas bayang di senja hari, tetapi selama hidup ini kita dimurnikan bak emas dalam tanur ujian, dan dipercayakan anugerah demi anugerah untuk dipersembahkan kembali bagi kemuliaan Tuhan. Memandang kehidupan dari sudut pandang Allah akan menuntun kita menjalani hari-hari dengan bijaksana, tekun, dan setia, sampai akhirnya kita berjumpa muka dengan muka dengan Dia dan menikmati upah kekal yang disediakan-Nya. Amin.

PEMBUAT,

 ttd

Dr. Ari Yunus Hendrawan

Penulis

Ketua Yayasan Pelayanan Amanat Agung

Gembala GBAP The Great Commission

Download Artikel : MEMANDANG KEHIDUPAN DARI SUDUT PANDANG ALLAH